Niat Puasa Ramadan: Kajian Ilmiah dalam Perspektif Mazhab Fikih
Bagikan info ini

Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat. Sebagaimana ibadah lainnya, puasa memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar sah. Salah satu rukun utama dalam puasa adalah niat, yang harus dilakukan sebelum fajar menyingsing.

Dalam literatur fikih, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah niat puasa Ramadan harus diperbarui setiap malam atau boleh dilakukan sekali di awal bulan untuk keseluruhan puasa Ramadan. Perbedaan ini didasarkan pada metode istinbath hukum yang digunakan oleh masing-masing mazhab, baik dari Al-Qur’an, Hadis, maupun kaidah ushul fikih.

Pandangan Mazhab dalam Niat Puasa Ramadan

Terdapat dua pendapat utama mengenai niat puasa Ramadan dalam mazhab fikih:

1. Pendapat yang Membolehkan Niat Sekali untuk Sebulan Penuh (Mazhab Malikiyah)

Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa seseorang boleh berniat puasa Ramadan sekali di awal bulan dan niat tersebut tetap berlaku sepanjang bulan, kecuali jika ada hal yang membatalkan puasa secara syar’i, seperti bepergian atau sakit.

Dalil yang digunakan oleh mazhab Malikiyah adalah konsep bahwa Ramadan merupakan satu kesatuan ibadah yang berkelanjutan (muwâlât). Karena itu, niat yang dilakukan di awal bulan sudah mencakup semua hari dalam Ramadan.

Niat dalam versi mazhab Malikiyah:
نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ كُلِّهِ لِلَّهِ تَعَالَى
(Nawaitu shauma syahri Ramadhana kullihi lillâhi ta’âlâ)
“Aku berniat berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadan karena Allah Ta’ala.”

2. Pendapat yang Mengharuskan Niat Setiap Malam (Mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali)

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali mewajibkan niat dilakukan setiap malam sebelum fajar. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
(Man lam yubayyitis-shiyâma qoblal-fajri falâ shiyâma lahu)
“Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan bahwa niat harus dilakukan sebelum fajar, yang berarti setiap hari harus ada niat tersendiri karena setiap hari merupakan ibadah yang terpisah.

Niat dalam versi mazhab Syafi’i:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
(Nawaitu shauma ghodin ‘an adâ’i fardhi syahri Ramadhâna hâdzihis-sanati lillâhi ta’âlâ)
“Aku berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta’ala.”

Analisis dan Implikasi Hukum

Kedua pendapat ini memiliki dasar yang kuat dalam kajian fikih. Bagi yang mengikuti mazhab Malikiyah, niat sekali di awal Ramadan dapat meringankan umat Muslim dalam menjalankan ibadah, terutama bagi mereka yang sering lupa berniat setiap malam. Namun, bagi mayoritas ulama yang mewajibkan niat setiap malam, pendapat ini lebih berhati-hati dalam memastikan sahnya puasa.

Dalam praktiknya, umat Muslim dianjurkan untuk mengikuti pendapat yang paling meyakinkan dan sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Jika seseorang mengikuti mazhab yang mewajibkan niat setiap malam, maka ia tetap dapat membaca niat sebelum tidur atau dalam hati sebelum waktu fajar.

Kesimpulan

Perbedaan pendapat mengenai niat puasa Ramadan mencerminkan keluasan ajaran Islam dalam memberikan kemudahan kepada umatnya. Mazhab Malikiyah memperbolehkan niat sekali di awal bulan, sementara mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali mewajibkan niat setiap malam. Perbedaan ini tidak boleh menjadi sumber perpecahan, melainkan harus disikapi dengan sikap saling menghormati dan toleransi dalam beribadah.

Wallahu A’lam.


Bagikan info ini
Tags :
Share This :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *